Pagi tadi, di TV channel 5 disiarkan tentang kecurangan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah di Tokyo ketika berlangsung `gakuryoku tesuto` (ujian untuk anak SD). Beritanya begitu mengagetkan para komentator, pun saya yang selama ini selalu mendapatkan image positif tentang kejujuran guru-guru di Jepang.
Sebuah SD di kelurahan Adachi yang terletak di metropolitan Tokyo dilaporkan berhasil meraih prestasi yang gemilang tahun ini dari rangking 44 di antara 72 sekolah tahun lalu, menjadi rangking ke-1 tahun ini. Perangkingan berdasarkan hasil total ujian siswa yang diadakan khusus untuk wilayah Tokyo.
Prestasi yang gemilang itu cukup mencengangkan dan muncul kecurigaan apa penyebabnya. Lalu terbongkarlah bahwa kepala sekolah dan 5 orang guru membuat kecurangan dengan cara menunjukkan soal2 yang dijawab salah oleh murid2 ketika ujian berlangsung. Kebocoran ini terungkap oleh laporan murid2 yang merasa canggung dan aneh dengan kelakuan kepala sekolah dan guru2.
Saya tanyakan kepada teman, apakah ini lazim di Jepang ? Jawabannya : tidak lazim tapi ada. Terakhir kali dilaksanakan kira-kira 40 tahun yg lalu (th 1967) , kejadian serupa sudah ada. Setalah cukup lama ujian nasional dihapuskan, pelakasanaan ujian nasional yang kemungkinan akan dilakukan tahun depan, membuat guru-guru dan kepala sekolah was-was, dapatkah siswa2nya melewatinya dengan mulus.
Pertanyaan yang masih ada di kepala saya, kenapa setelah waktu yang cukup lama, 40 tahun, ujian nasional diadakan kembali ? Jawabannya, barangkali ada sangkut pautnya dengan pemberitaan di media yang selalu melaporkan bahwa kemampuan akademik siswa2 di Jepang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Pemerintah kemudaian melakukan survey dan tes percobaan untuk membuktikannya dan hasilnya memang rendah. Contoh gampangnya saja, anak kelas 6 SD yang saya tanya tentang letak negara Jepang dalam peta dunia, tak mampu menjawab.
Beragam polemik muncul di kalangan ahli pendidikan Jepang, umumnya mereka menyangsikan pelaksanaan ujian nasional, bahkan pun meragukan bahwa sistem ini adalah alat untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Sorotan juga diarahkan kepada program `tanoshii jugyou` (kelas yang menyenangkan) yang memang menekan tingkat stress anak, dan membuat mereka senang belajar, tapi sejauh mana meningkatkan kemampuan akademik pelajar, masih dipertanyakan.
Pengertian gakuryoku (kemampuan akademik) di kalangan pemikir di Jepang agak berbeda dengan pemikiran yang berkembang di negara2 lain, seperti Indonesia. Di Jepang, gakuryoku lebih merupakan kemampuan untuk menguasai sesuatu secara mendalam, mampu memahaminya, mencernanya, dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi di beberapa negara, kemampuan akademik diterjemahkan sebagai nilai/skor ulangan/tes, tanpa ada pengujian lanjut apakah anak benar-benar memahami persoalan atau sekedar sanggup menjawab benar soal ujian, yang terjadi karena faktor latihan soal atau pengulangan soal dari tahun ke tahun.
Guru-guru di Jepang selama ini telah terbiasa dengan mengajarkan pemahaman. Dengan konsep `wakaru` (mengerti) dan `dekiru` (bisa), mereka mengajar siswa agar memahami konsep dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun tak semua guru di Jepang mampu melakukan tugas ini dengan baik, tapi banyak juga yang sanggup.
Kesan saya tentang kemampuan dan motivasi belajar anak-anak Jepang, berdasarkan kunjungan ke banyak sekolah memang sangat beragam. Ada anak yang begitu semangat dan kritis, tapi ada pula sekolah yang siswa-siswanya tak lebih baik jika dibandingkan dengan siswa-siswa di Indonesia. Tapi barangkali fasilitas sekolah, buku, ensiklopedi yang lengkap, juga IT yang tersedia di semua sekolah membuat anak-anak Jepang lebih mudah mengakses ilmu. Juga tentu saja, hampir sebagian besar guru2nya yang mempunyai militansi mengajar dan kecintaan kepada pekerjaannya, mampu menelorkan anak-anak didik yang bermotivasi tinggi.
Kalau dilihat dari tujuan pendidikan anak-anak di UU Pendidikan Jepang, juga hasil berbincang dengan guru-guru di sekolah, sebenarnya tujuan mendidik anak sederhana sekali, agar mereka menjadi anak-anak yang sehat badan, jiwa dan pikiran. Bukan anak yang pintar, bukan anak yang brilian, karena kepintaran dan kebrilianan sebenarnya bawaan lahir yang hanya perlu diasah agar dapat bernilai positif.
Yang harus ditekankan dalam pendidikan anak adalah mengasah atau melatih atau mempertajam kemampuan otak, jiwa/hati/sikap dan tubuh.
Wednesday, December 12, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment