BELUM reda kontroversi ujian nasional tingkat SMP dan SMA, pemerintah tengah berencana menyelenggarakan ujian kelulusan bagi siswa SD mulai tahun 2008. Kepastian penyelenggaraan ujian nasional sekolah dasar (UN SD) ini pun masih ditunggu-tunggu sementara tahun ajaran baru 2007/2008 sudah berlangsung.
Di tengah ketidakpastian tersebut, mau tidak mau guru-guru di kelas 6 mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian guna mempersiapkan siswa mengikuti UN. Misalnya, kurikulum kelas 6 yang disusun untuk satu tahun terpaksa dipadatkan menjadi satu semester agar siswa dapat berkonsentrasi mempersiapkan UN pada semester berikutnya. Orang tua pun mulai sibuk mencari-cari bimbingan belajar bagi putra-putrinya demi persiapan UN.
Memacu motivasi belajar siswa dalam meningkatkan prestasi akademik mereka merupakan dalih yang kerap dikemukakan oleh pemerintah untuk membela UN. Argumentasi sejenis memang menjadi alasan yang sering digunakan oleh para pengambil kebijakan pendidikan, termasuk di negara-negara lain. Sebagian alasan tersebut dapat diterima karena tidak tertutup kemungkinan ada di antara siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah atau yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan ke mal atau menonton sinetron tidak bermutu di televisi, misalnya, ketimbang belajar.
Namun, menjadikan ujian kelulusan sebagai fokus utama upaya peningkatan mutu pendidikan dapat mengaburkan masalah-masalah krusial yang berkontribusi terhadap kesenjangan mutu pendidikan di tanah air, misalnya kesenjangan kualitas guru, gedung-gedung sekolah yang tidak layak dipakai, minimnya fasilitas penunjang proses pembelajaran, seperti buku-buku pelajaran, laboratorium, perpustakaan, dan internet, serta kemiskinan yang membelit sebagian masyarakat. Hal ini diperparah pula dengan tradisi "serbamendadak dan tergesa-gesa" yang melekat dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di bidang pendidikan.
Peluncuran kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), sertifikasi guru, ataupun UN SD merupakan sebagian di antara berbagai kebijakan dadakan lainnya. Terkait UN SD, berbagai dampak positif dan negatif yang dapat diamati dari pelaksanaan ujian kelulusan tingkat SMP dan SMA maupun pengalaman di negara-negara lain selayaknya dipertimbangkan agar manfaat pelaksanaan UN SD lebih besar ketimbang mudaratnya.
Dampak ujian kelulusan
Penelitian-penelitian seputar dampak ujian kelulusan maupun ujian kenaikan kelas kerap memberikan hasil yang bertolak belakang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan (Phelps, 2001), namun penelitian lain menunjukkan tidak ada kontribusi positif pelaksanaan ujian kelulusan (Amrein & Berliner, 2003).
Dalam penelitian terhadap dampak ujian kenaikan kelas bagi siswa kelas VI dan VIII di Chicago (istilah ujian kelulusan tidak digunakan untuk siswa SD dan SMP di Amerika Serikat), Roderick dan Angel (2001) menunjukkan adanya peningkatan semangat belajar di kalangan siswa yang kurang berprestasi. Akan tetapi, penelitian mereka juga mengindikasikan bahwa ujian kenaikan kelas tersebut tidak berpengaruh terhadap siswa yang tidak hanya rendah prestasinya, tetapi juga berasal dari keluarga miskin dengan berbagai problem sosial dan ekonomi. Tekanan yang lebih besar juga dialami guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah di kantong-kantong kemiskinan dengan kemampuan siswa yang kurang memadai pula.
Penelitian-penelitian yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal internasional maupun pemberitaan media massa mengindikasikan pula berbagai dampak negatif yang menyertai pelaksanaan ujian kelulusan. Salah satu yang kerap dikemukakan adalah terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga mata pelajaran yang tidak diujikan menjadi terabaikan. Selain itu, proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas terpinggirkan karena cenderung memfokuskan diri pada latihan-latihan soal.
Negara tetangga kita, Singapura yang memang memiliki ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA dan terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalam The Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS), mulai sedikit mengendurkan standardisasi pendidikan yang mereka lakukan selama ini sebagai upaya mendorong proses belajar yang lebih kreatif (Zhao, 2006).
Ujian kelulusan juga meningkatkan risiko putus sekolah, terutama bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan UN SMP dan SMA tahun lalu, ujian ulang, yang merupakan standar profesional penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa, ditiadakan. Padahal, tidak tertutup kemungkinan ada siswa yang tidak lulus karena kesalahan pengukuran yang selalu ada pada tiap tes (false negative). Amat disayangkan bila upaya peningkatan prestasi akademik yang terbatas pada mata pelajaran yang diujikan mesti dibayar mahal dengan meningkatnya angka putus sekolah bagi siswa SD karena akan mengancam keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun.
Pelaksanaan UN SMP dan SMA pun telah menimbulkan kecemasan di kalangan siswa, guru, dan orang tua sehingga bimbingan tes seakan menjadi keharusan. Tidak ada yang salah dengan memberikan pelajaran tambahan bagi siswa bila dirasa perlu. Namun, yang terjadi saat ini adalah munculnya rasa tidak percaya yang berlebihan terhadap kemampuan guru dan sekolah dalam membekali murid-muridnya.
Anak-anak dari keluarga miskin, yang tidak memiliki kesempatan mengikuti bimbingan belajar, akan semakin sulit untuk berkompetisi dengan anak-anak dari keluarga berada untuk masuk ke sekolah yang bermutu karena nilai UN biasanya juga digunakan sebagai kriteria utama penerimaan siswa baru. Dengan demikian, kesenjangan akses terhadap pendidikan bermutu berdasarkan status ekonomi keluarga akan semakin lebar.
Di samping itu, kebiasaan meranking sekolah berdasarkan hasil UN, secara langsung maupun tidak langsung telah memicu praktik-praktik kecurangan pelaksanaan UN yang sulit dibuktikan, namun telah menjadi rahasia umum. Boleh-boleh saja melakukan perankingan, tetapi ranking tersebut tidak dapat begitu saja dijadikan ukuran kualitas guru maupun sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas murid-murid yang masuk ke sekolah tersebut, baik secara akademis maupun latar belakang sosial ekonomi. Ranking tersebut bisa jadi hanya menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga siswa, namun telah ditelan mentah-mentah sebagai ukuran kualitas guru dan sekolah.
Belum siap
Pelaksanaan ujian kelulusan mungkin saja berpotensi dalam meningkatkan prestasi siswa dalam mata pelajaran yang diujikan, namun dampak-dampak negatif yang ditimbulkan tidak dapat diabaikan begitu saja. Dampak-dampak negatif tersebut akan semakin mendominasi bila berbagai masalah yang menjadi sumber kesenjangan kualitas pendidikan maupun ekonomi di tanah air tidak dijadikan prioritas. Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Lee (2006) terhadap 50 negara bagian di Amerika Serikat yang saat ini tengah melakukan upaya-upaya standardisasi pendidikan, menegaskan bahwa upaya-upaya tersebut akan sia-sia tanpa peningkatan kualitas guru, serta sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran lainnya.
Di samping itu, pelaksanaan ujian kelulusan juga menuntut dipenuhi standar-standar profesional penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa. Antara lain, pertama, pelaksanaan ujian ulang sebelum berakhirnya tahun ajaran agar siswa memiliki peluang untuk melanjutkan studi tanpa mengulang pada tahun berikutnya. Kedua, tersedianya program remedial bagi siswa yang gagal dengan dibiayai oleh pemerintah pusat/ daerah agar tidak membebani orang tua. Ketiga, adanya keterpaduan antara kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah dengan ujian kelulusan.
Tampaknya, belum saatnya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan UN SD karena belum terpenuhi prasyarat yang dibutuhkan untuk memunculkan potensi dampak positif ujian kelulusan.
Kenyataan bahwa pelaksanaan KTSP yang diluncurkan secara tergesa-gesa di awal tahun ajaran 2006/2007 masih menimbulkan kegagapan di lapangan, juga merupakan salah satu bukti ketidaksiapan tersebut. Memaksakan pelaksanaan UN SD saat ini, berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif yang tidak diharapkan sehingga semakin menjauhkan diri dari upaya mengurangi kesenjangan mutu pendidikan di tanah air.***
Di tengah ketidakpastian tersebut, mau tidak mau guru-guru di kelas 6 mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian guna mempersiapkan siswa mengikuti UN. Misalnya, kurikulum kelas 6 yang disusun untuk satu tahun terpaksa dipadatkan menjadi satu semester agar siswa dapat berkonsentrasi mempersiapkan UN pada semester berikutnya. Orang tua pun mulai sibuk mencari-cari bimbingan belajar bagi putra-putrinya demi persiapan UN.
Memacu motivasi belajar siswa dalam meningkatkan prestasi akademik mereka merupakan dalih yang kerap dikemukakan oleh pemerintah untuk membela UN. Argumentasi sejenis memang menjadi alasan yang sering digunakan oleh para pengambil kebijakan pendidikan, termasuk di negara-negara lain. Sebagian alasan tersebut dapat diterima karena tidak tertutup kemungkinan ada di antara siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah atau yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan ke mal atau menonton sinetron tidak bermutu di televisi, misalnya, ketimbang belajar.
Namun, menjadikan ujian kelulusan sebagai fokus utama upaya peningkatan mutu pendidikan dapat mengaburkan masalah-masalah krusial yang berkontribusi terhadap kesenjangan mutu pendidikan di tanah air, misalnya kesenjangan kualitas guru, gedung-gedung sekolah yang tidak layak dipakai, minimnya fasilitas penunjang proses pembelajaran, seperti buku-buku pelajaran, laboratorium, perpustakaan, dan internet, serta kemiskinan yang membelit sebagian masyarakat. Hal ini diperparah pula dengan tradisi "serbamendadak dan tergesa-gesa" yang melekat dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di bidang pendidikan.
Peluncuran kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), sertifikasi guru, ataupun UN SD merupakan sebagian di antara berbagai kebijakan dadakan lainnya. Terkait UN SD, berbagai dampak positif dan negatif yang dapat diamati dari pelaksanaan ujian kelulusan tingkat SMP dan SMA maupun pengalaman di negara-negara lain selayaknya dipertimbangkan agar manfaat pelaksanaan UN SD lebih besar ketimbang mudaratnya.
Dampak ujian kelulusan
Penelitian-penelitian seputar dampak ujian kelulusan maupun ujian kenaikan kelas kerap memberikan hasil yang bertolak belakang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan (Phelps, 2001), namun penelitian lain menunjukkan tidak ada kontribusi positif pelaksanaan ujian kelulusan (Amrein & Berliner, 2003).
Dalam penelitian terhadap dampak ujian kenaikan kelas bagi siswa kelas VI dan VIII di Chicago (istilah ujian kelulusan tidak digunakan untuk siswa SD dan SMP di Amerika Serikat), Roderick dan Angel (2001) menunjukkan adanya peningkatan semangat belajar di kalangan siswa yang kurang berprestasi. Akan tetapi, penelitian mereka juga mengindikasikan bahwa ujian kenaikan kelas tersebut tidak berpengaruh terhadap siswa yang tidak hanya rendah prestasinya, tetapi juga berasal dari keluarga miskin dengan berbagai problem sosial dan ekonomi. Tekanan yang lebih besar juga dialami guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah di kantong-kantong kemiskinan dengan kemampuan siswa yang kurang memadai pula.
Penelitian-penelitian yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal internasional maupun pemberitaan media massa mengindikasikan pula berbagai dampak negatif yang menyertai pelaksanaan ujian kelulusan. Salah satu yang kerap dikemukakan adalah terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga mata pelajaran yang tidak diujikan menjadi terabaikan. Selain itu, proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas terpinggirkan karena cenderung memfokuskan diri pada latihan-latihan soal.
Negara tetangga kita, Singapura yang memang memiliki ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA dan terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalam The Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS), mulai sedikit mengendurkan standardisasi pendidikan yang mereka lakukan selama ini sebagai upaya mendorong proses belajar yang lebih kreatif (Zhao, 2006).
Ujian kelulusan juga meningkatkan risiko putus sekolah, terutama bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan UN SMP dan SMA tahun lalu, ujian ulang, yang merupakan standar profesional penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa, ditiadakan. Padahal, tidak tertutup kemungkinan ada siswa yang tidak lulus karena kesalahan pengukuran yang selalu ada pada tiap tes (false negative). Amat disayangkan bila upaya peningkatan prestasi akademik yang terbatas pada mata pelajaran yang diujikan mesti dibayar mahal dengan meningkatnya angka putus sekolah bagi siswa SD karena akan mengancam keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun.
Pelaksanaan UN SMP dan SMA pun telah menimbulkan kecemasan di kalangan siswa, guru, dan orang tua sehingga bimbingan tes seakan menjadi keharusan. Tidak ada yang salah dengan memberikan pelajaran tambahan bagi siswa bila dirasa perlu. Namun, yang terjadi saat ini adalah munculnya rasa tidak percaya yang berlebihan terhadap kemampuan guru dan sekolah dalam membekali murid-muridnya.
Anak-anak dari keluarga miskin, yang tidak memiliki kesempatan mengikuti bimbingan belajar, akan semakin sulit untuk berkompetisi dengan anak-anak dari keluarga berada untuk masuk ke sekolah yang bermutu karena nilai UN biasanya juga digunakan sebagai kriteria utama penerimaan siswa baru. Dengan demikian, kesenjangan akses terhadap pendidikan bermutu berdasarkan status ekonomi keluarga akan semakin lebar.
Di samping itu, kebiasaan meranking sekolah berdasarkan hasil UN, secara langsung maupun tidak langsung telah memicu praktik-praktik kecurangan pelaksanaan UN yang sulit dibuktikan, namun telah menjadi rahasia umum. Boleh-boleh saja melakukan perankingan, tetapi ranking tersebut tidak dapat begitu saja dijadikan ukuran kualitas guru maupun sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas murid-murid yang masuk ke sekolah tersebut, baik secara akademis maupun latar belakang sosial ekonomi. Ranking tersebut bisa jadi hanya menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga siswa, namun telah ditelan mentah-mentah sebagai ukuran kualitas guru dan sekolah.
Belum siap
Pelaksanaan ujian kelulusan mungkin saja berpotensi dalam meningkatkan prestasi siswa dalam mata pelajaran yang diujikan, namun dampak-dampak negatif yang ditimbulkan tidak dapat diabaikan begitu saja. Dampak-dampak negatif tersebut akan semakin mendominasi bila berbagai masalah yang menjadi sumber kesenjangan kualitas pendidikan maupun ekonomi di tanah air tidak dijadikan prioritas. Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Lee (2006) terhadap 50 negara bagian di Amerika Serikat yang saat ini tengah melakukan upaya-upaya standardisasi pendidikan, menegaskan bahwa upaya-upaya tersebut akan sia-sia tanpa peningkatan kualitas guru, serta sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran lainnya.
Di samping itu, pelaksanaan ujian kelulusan juga menuntut dipenuhi standar-standar profesional penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa. Antara lain, pertama, pelaksanaan ujian ulang sebelum berakhirnya tahun ajaran agar siswa memiliki peluang untuk melanjutkan studi tanpa mengulang pada tahun berikutnya. Kedua, tersedianya program remedial bagi siswa yang gagal dengan dibiayai oleh pemerintah pusat/ daerah agar tidak membebani orang tua. Ketiga, adanya keterpaduan antara kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah dengan ujian kelulusan.
Tampaknya, belum saatnya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan UN SD karena belum terpenuhi prasyarat yang dibutuhkan untuk memunculkan potensi dampak positif ujian kelulusan.
Kenyataan bahwa pelaksanaan KTSP yang diluncurkan secara tergesa-gesa di awal tahun ajaran 2006/2007 masih menimbulkan kegagapan di lapangan, juga merupakan salah satu bukti ketidaksiapan tersebut. Memaksakan pelaksanaan UN SD saat ini, berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif yang tidak diharapkan sehingga semakin menjauhkan diri dari upaya mengurangi kesenjangan mutu pendidikan di tanah air.***
(artikel dari: Dr. Erlin Driana)
No comments:
Post a Comment